Entah kenapa akhir-akhir ini
sedang sering berinteraksi dengan para pembohong kelas gurita. Kenapa kelas
gurita? Tentulah kepalanya besar penuh dengan ide-ide berbohong. Menutupi
kebohongan yang satu dengan yang lainnya. Menutupi yang ini dengan yang itu.
Lihat matanya yang terbelalak liar dengan dua bola mata besar. Rasanya hampir
meledak karena terlalu sering melihat manusia-manusia berhasil dibodohi.
Tak ada perut yang berisi hati.
Maka para pembohong tak akan punya hati untuk merasa telah melukai atau
menyakiti. Ya begitu saja, apa yang dipikirkan di otaknya keluar melalui
mulutnya tanpa pernah dicerna. Pernahkah memperhatikan mulut gurita? Begitu
menganga dengan banyak gigi. Mampu menelan mangsa yang besar dan mencengkramnya
dengan gigi tajam yang kecil dan rapat. Sehingga sulit dibedakan mana gigi
seri, taring atau gigi geraham. Saking rapatnya hampir tak dapat dibedakan yang
mana kebohongan yang mana kebenaran.
Dimana telinganya? Bersembunyi
hampir tak terlihat. Pekak ia mendengar jerit dan tangisan. Hening dalam
pertanyaan dan kejujuran. Bangga memegang teguh keegoisan tanpa kepekaan.
Belum lagi ia pandai melarikan
diri. Mengeluarkan tinta hitam untuk mengelabui. Menghilang dengan kecepatan
yang tak dapat diduga. Lari dari masalah yang sudah dibuatnya. Tak dinyana
dialah adalah pengcut sejati yang mampu bersembunyi dalam kamuflase diri.
Berpura-pura menjadi pribadi yang baik hati namun penuh strategi.
Lengannya yang menjulur kesana
kemari dengan tentakel yang siap menjerat siapa saja korbannya. Dengan senang
hati menebar janji. Tinggal memilih korban mana yang akan dilahapnya terlebih
dahulu. Memuntahkan sisa tulang belulang yang tak dapat dicerna. Menjadikannya
sampah tak berguna. Kemudian ia pergi, mencari lagi. Mana yang dapat kubohongi
lagi, itu kata sang gurita raksasa.
Maka ia lupa, ia lengah dalam
tawa yang membahana di seluruh lautan. Sudah puaskah ia? Nyatanya ia lupa,
diatas langit masih ada langit. Jerat nelayan mengikat erat. Tak mampu berkutik
ia. Bualan tak lepas ikatnya. Ia meronta sejadinya. Tak ada yang percaya. Semua
hanya menatapnya dan pergi dengan tertawa. Maka udara mencekiknya perlahan. Tak
ada belas kasihan dari badik nelayan. Ia berakhir disana, tertelan semua
kebohongan. Rasakan. Rasakan. Dalam kesendirian.
0 komentar
Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^