Haniko Fukuzawa (Part 2)

Ayah tersenyum kearahku seolah berkata tenang Hani, semua akan baik-baik saja. aku tidak tau harus melakukan apa ketika seorang wanita mengeluarkan suntikan. jarum suntiknya begitu tajam dan aku mulai menangis ketika seorang lainnya memegangiku tanganku dengan erat. Disaat yang bersamaan empat orang berpakaian hitam datang membawa Tori dan Aoyama. Sama seperti ayahku wajah Aoyama terluka dan memberikan senyuman yang sama seolah berkata Tenang Hani, semua akan baik-baik saja. Aku tidak tau kemana penjaga ayah yang biasanya selalu berjaga disekitar ayah. Mereka sangat kuat dan pandai berkalahi. Salah satu pria besar itu mendudukkan Tori di kursi dihadapanku. Kemudian ia melakukan hal yang sama pada Tori. Ia mengambil darah kami. Tori tidak menangis sepertiku, ia hanya meringis. Kini aku percaya bahwa Tori tidak menangis ketika gambar naga kecil itu dibuat.

Aku tidak tau apa yang akan mereka lakukan pada darah kami. Mereka memasukkan darah kami pada kotak putih indah yang tadi aku lihat sebelum naik keatas kapal. Darah kami mengalir mengikuti ukiran yang tak terlihat sebelumnya. Kini aku bisa melihat bahwa kotak itu lebih indah lagi setelah darah kami mengalir didalamnya. Aku tidak tau bagaimana cara darah itu bekerja sehingga kotaknya bisa terbuka.

“Haaah dasar kau penipu Kurogane dimana gulungan itu berada?”
Kemudian semua orang mulai bersiaga dengan pedangnya. Kotak indah itupun dibanting hnigga pecah dan darah kami berceceran di lantai. Tiba-tiba bermunculan orang-orang berpakaian hitam lainnya. Tapi aku mengenali beberapa orang diantaranya, mereka rekan ayahku. Kulihat Paman Aoyama mengeluarkan pisau kecil dari balik jasnya. Ia melepaskan ikatannya dan merebut pedang salah satu paman yang ada disampingnya. Dan perkelahianpun dimulai.

Ia bergerak sangat cepat, aku baru tau bahwa Paman Aoyama sangat pandai berkelahi dengan pedang. Dalam situasi yang kacau ini aku tidak tau apa yang harus aku lakukan. Rasanya aku ingin berlari memeluk Tori. Ketika aku baru saja turun dari kursi Paman Aoyama menangkapku dan membawaku berlari. Aku tidak tau kemana Paman Aoyama akan membawaku. Tiba-tiba saja ia meloncat dari kapal. Akupun berteriak sekencang mungkin. Ternyata kami jatuh diatas sebuah speed boat. Aoyama berkelahi dengan beberapa orang yang ada di speedboat hingga menjatuhkan mereka kelaut. Kemudian ia mengemudikan speedboat dengan kencang dan menjauhi kapal besar itu. Aku tidak bisa melihat Tori ataupun ayah. Aku hanya bisa mendengar teriakan dan suara pedang saling beradu. Aku tidak tau bagaimana keadaan mereka. Yang aku lakukan hanyalah lagi-lagi menangis. Menangis hingga tertidur.

Aku terbangun dan kami sudah ada disebuah gubuk kecil. Aku melihat Aoyama bersandar disalah satu tiang. Ia begitu terlihat sangat lemah. Aku baru menyadari bahwa tangannya terluka.
“Paman, paman tidak apa-apa?”
“tidak Hani kecil, paman hanya sedikit terluka, bisakah kau membantuku sedikit Hani?” , akupun mengangguk bingung.
“kau robeklah lengan bajuku ini. Kemudian kau ikatkan diatas lukanya. Bisa kau lakukan itu Hani kecil?”, akupun kembali mengangguk. Dengan ragu aku merobek bagian kain yang sudah koyak dan dipenuhi darah. Aku meringis melihat luka yang begitu besar. Luka yang masih mengucurkan darah.
“jangan menangis Hani kecil. Lakukanlah seperti apa yang kuminta, ikat dengan kuat ya”, aku berhasil merobek kainnya dan mengikatkan ketangan paman Aoyama. Ia terlihat agak kesakitan dan wajahnya memucat.
“sekarang Hani, berjalanlah keluar dan kau carilah dedaunan kecil seperti yang ada dihalaman rumah”
“daun seperti apa paman? Terlalu banyak dedaunan diluar sana”
“daun yang biasa bibi Hadori cabuti, dia biasa marah-marah kalau ada daun itu disekitar bunga mawar. Kau tau kan? Kau pasti tau, karena kau selalu mentertawakannya ketika ia sedang marah-marah”, aku mengingat-ingat dan rasanya aku tau daun seperti apa yang harus aku cari.
“Hati-hati Hani kecil, jangan terlalu jauh”.  Aku tidak tau kami ada dimana, tapi aku rasa ini di hutan karena banyak sekali pepohonan besar dan daun-daun yang belum pernah aku lihat. Aku terus mencari sampai akhirnya kutemukan semak-semak penuh daun yang paman Aoyama maksud. Akupun memetik cukup banyak daun dan aku letakan di atas rokku. Aku membungkuk untuk menjaganya agar tidak terjatuh. Aku berjallan cukup jauh sehingga aku mulai kebingungan mencari jalan pulang ke gubuk. Aku hampir panik, tapi aku ingat kata—kata paman Aoyama jika aku sedang panik karena akan menghadapi ujian.

“Hani kecil, tutup matamu dan dengarkan aku. tidak ada hal yang menakutkan didunia ini. Hanya saja kau yang kurang berani. Tarik nafas dan hembuskan perlahan. Katakan pada dirimu bahwa kau seorang pemberani”

Aku melakukan hal itu berkali-kali hingga aku merasa cukup berani untuk membuka mata. Kemudian dengan hati yang lebih tenang aku bisa mengingat bahwa sebelum semak-semak aku melewati bunga-bunga liar berwarna kuning. Aku melihat ada sekumpulan bunga kuning tidak jauh dari semak-semak tempat aku mengambil dedaunan tadi. Sampai disana aku kembali memejamkan mata sambil mengingat-ingat kemana aku harus berjalan. Aku ingat bahwa melihat sebuah pohon besar dengan burung biru yang bernyanyi diatasnya. Samar-samar aku mendengar kicauan yang sama dan aku tau bahwa itu tidak jauh dariku. Dan iya aku menemukan pohon besar dengan burung biru yang sama. Aku tau, iya aku tau bahwa gubuk kecil itu tidak jauh dari pohon besar ini. Dan benar saja aku sudah bisa melihat atapnya. Setengah berlari aku tidak memperhatikan jalanku dan akupun tersandung akar yang melintang dan daguku terluka terantuk batu.

Sambil menangis aku membereskan dedaunan yang aku kumpulkan tadi kemudian masuk kedalam gubuk. Paman Aoyama terlihat semakin melemah dan aku tau aku harus menjadi lebih kuat.
“Hani kecil kau juga terluka. Lain kali kau harus lebih hati-hati. Hapus air matamu dan kemarilah. Jangan menangis.”, aku mendekati Paman tanpa berkata apa-apa. Aku hapus air mataku dengan lengan bajuku.
“Hani, sekarang kau hancurkan daun itu, kau robek-robek hingga ia mengeluarkan air. Iya begitu Hani kecil, kau pintar sekali. Buat yang banyak lalu kau tempelkan ke lukaku ini ya.” Aku melakukan seperti apa yang paman perintahkan, kemudian aku menempelkan dedaunan itu ke lukanya. “Aaarrggghh.. aku tidak apa-apa Hani, hanya terasa sedikit perih. Lakukan lagi hingga lukaku tertutup dengan dedaunan itu”, lagi-lagi aku melakukannya dengan perlahan. “kau robeklah bagian bawah gaunmu Hani, kemudian kau ikatkan ke lukaku ini ya, yang kencang”, aku memilih bagian rokku yang cukup bersih kemudian mengikatkannya keluka paman Aoyama.
“bagus Hani, sekarang biarkan aku tertidur sebentar saja ya”, akupun mengangguk. Aku mulai merasakan luka didaguku semakin perih. Maka aku melakukan hal yang sama seperti apa yang kulakukan pada paman. Aku menempelkan dedaunan iti didaguku. Aaah ternyata memang perih. Akupun berbaring dipangkuan Paman Aoyama. Aku rasa aku terlalu lelah untuk mengingat Tori dan ayah. Tapi aku sempat mendoakan semoga mereka baik-baik saja. Dan paman Aoyama, segeralah sembuh, aku ketakutan paman.
Aku terbangun dan ternyata hari sudah pagi. Aku tidak melihat Paman Aoyama. Apa mungkin ia meninggalkan aku? aku berlari keluar gubuk sambil memanggil nama paman.

“ada apa Hani? Aku pergi mencari air untuk minum. Ini aku bawakan minum untukmu”, paman membawa daun yang ia buat seperti kerucut.
“paman, apa paman sudah sembuh?”
“sudah lebih baik Hani, dan akan segera sehat kembali. Ayo hani ikuti aku, ada yang harus aku lakukan”
Aku mengikuti paman dari belakang sambil mengamati jalan yang aku lalui. Bau hutan ini aneh sekali, menyegarkan tapi berbau lembab disaat yang bersamaan. Ternyata paman membawaku kepinggir pantai.
“Paman apa kita akan pulang?”
“Tidak Hani, mulai hari ini disinilah rumah kita”
“Tapi dimana sekarang kita paman?”
“Di rumah. Selamat datang dirumah barumu Hani kecil”
Aku sama sekali tidak mengerti yang paman katakan. Rumah? Iamenyebut tempat ini rumah? Hanya ada hutan dan gubuk tua. Lalu bagaimana dengan Tori dan Ayah? Apa mereka tidak akan mencariku atau merindukanku?

“Hani jangan melamun. Ayo bantu aku menarik speedboat ini. Kita harus menyembunyikannya dari pencuri”, aku membantu paman menarik speedboat itu hingga beberapa meter kedalam hutan. Kemudian paman menutup semua bagian speedboat itu dengan dedaunan yang cukup besar. Untung saja aku hanya harus menarik speedboat bermuatan 10 orang ini, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau aku harus menarik kapal sebesar kapal yang aku naiki kemarin pagi.
“Apa kau lapar Hani? Mari kita cari makanan”, Paman Aoyama merangkul pundakku.
no image
Item Reviewed: Haniko Fukuzawa (Part 2) 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.

nene..ini masi ada lanjutannya lagi?

kyaaaaa... kurogane ^^
mana2 lanjutannya??

Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!