Sahabatku (bukan) Kekasihku


Siapa sih yang ga pernah suka sama temen sendiri? Ada sih tapi paling dikit doank. Gue pernah tuh suka sama temen sendiri. Widddddiiiiiiiiiihhhh. Ga mau tiga kali gue, di bayar berapa juga ogah dah. Ahahahha lebay. Dua kali gue ngalamin kaya gitu tuh, pertama smp. Cinta pertama gue a.k.a cinta monyet :p. Akhirnya jadian sih tapi hanya beberapa bulan aja karna ternyata ga seasyik waktu temenan. Meskipun setelah putus ruksak tuh hubungan pertemanan, hedeeeeh perlu beberapa taun parahnya buat ngebalikin itu hubungan pertemanan. Bahkan sampe sekarang  ga bisa balik sedeket kaya dulu L iks. Ada perasaan bersalah sebenernya dalam hati gue. Dia ga punya pacar lagi setelah putus sama gue. Dia bilang gue ada pengaruhnya juga. Hhmmmh Tuhan semoga dia bisa memaafkan kesalah gue ini T.T. bahkan sampe dia nyoba buat deketin gue, gue masih ngerasa bahwa selamanya kita hanya akan menjadi teman dekat. Gue rasa dia berhak dapetin cw yang bener-bener sayang dan bisa menerima dia sebagai pacar. Menyakitkan, ternyata mencintai seorang sahabat bisa membuat kehilangan persahabatan.

Kenyataan mang beda sama sinetron atau novel drama yang ceritanya happy ending. Sahabatan, suka-sukaan tapi g terus terang tapi ujung-ujungnya jadian. Weeekkssss. Gue ga gitu c :(

Yang kedua lebih perih. Ini pas gue udah kuliah. Waktu pertama ketemu biasa aja sih, botak g jelas gitu orangnya. Ahahah yaiyalah orang mahasiswa baru. Heuheu.. :D. Gue ga sadar kapan tepatnya gue suka sama dia. Sekitar semester 3 kayanya. Tapi gue bukan satu-satunya yang suka sama dia, karna ada temen gue juga yang suka dia dan lebih gencar di ceng-ceng in. Pertama kali gue deket sama dia tuh karna dia suka curhat tentang cw yang dia suka. Minta pendapat ini itu. Mungkin dia ngerasa masukan gue nyambung dia jadi suka cerita macem-macem. Share tentang kehidupan sosial, tentang masalah di rumahnya atau tentang organisasinya. Ga jarang juga dia minta ajarin pelajaran kuliah, terutama kalau mau uas. Gue dengan senang hati akan selalu mendengarkan cerita dia, ngajarin dia kapanpun dia minta. Seiring berjalannya waktu perasaan suka itu semakin bertumbuh. Apalagi tindak tanduknya dia seolah-olah ngasih harapan. Ga tau guenya aja yang terlalu ngarep. Ahahah. Saat itu gue punya pacar sebenernya, bahkan pacar gue (yang asalnya kita juga sahabatan) tau kalo gue ngecengin temen kampus gue itu. Gue pikir stelah kita jadian gue bisa ngelupain dia tapi ternyata gue salah besar. Rasa itu masih tetap ada sampai sekarang :)

Rasanya bener-bener ga enak. Di saat gue sayang sama pacar gue, tapi gue juga harus berbagi perhatian dengan orang yang gue suka itu. G besar memang, tapi dia punya porsi tersendiri di hati gue. Dimana sebagian hati kecil gue rela sakit hati demi dia. Rela menutup telinga saat dia harus di ceng-ceng in sama temen gue. Rela menutp mata saat dia jalan dengan cw yang dia suka. Rela berjalan berdampingan saat dia butuh gue. Rela diam ditempat saat di harus meninggalkan gue. Rela tersenyum di saat seharusnya gue nangis. Apa gue sudah menyia-nyiakan pacar gue? Jawabannya IYA. Dan apa yang gue kejar dari ‘sahabat’ gue itu? Dan jawabanny adalah TIDAK TAHU.

Sampai suatu hari lagi-lagi gue denger dia suka sama cw. Adik kelas. Oke gue bisa terima. Rasanya gue sudah cukup kebal buat denger bahwa banyak cw yang suka sama dia. Sampe akhirnya (lagi) dia cerita tentang cw yang dia suka itu. Herannya gue nangis. Banyak. Sampe sembab. Sampe ingusan. Sampe sesak nafas. GUE SAKIT HATI. Lagi-lagi dalam kondisi gue punya pacar, dan si ‘sahabat’ bukan siapa-siapa gue yang g lebih dari sahabat.  Gue ga tau harus gimana. Gue ga cerita sama siapapun karna memang ga ada satuppun temen gue yang tau perasaan gue sama si ‘sahabat’. Akhirnya gue simpan, simpan dan terus gue simpan. Sejak awal gue mang niat buat menyatakan perasaan itu suatu hari. Dan rasanya gue menemukan momen yang tepat. Mungkin gue udah ngacauin pikiran dia saat itu (maav sobat :) akupun punya hati).

Ga lama setelah peristiwa curhat itu. Gue mengakui semuanya sama dia. Kalau gue suka sama dia, dan perasaan itu sudah timbul sejak 2 tahun lalu. Dan tetap gue simpen. Semuanya keluar dari hati gue lewat mulut gue. Tentang apa yang gue rasa selama ini. Tentang beban yang gue pikul. Tentang rasa bahagia yang dia kasih. Dan tentang rasa nyaman yang sama-sama kami rasakan. Tapi, apa yang gue dapet? NOTHING. That is the real answer. Gue mengejar angin. Berusaha meraih awan. Mencoba menyelami segitiga bermuda. Ga ada sesuatu yang benar-benar gue cari. Ga ada apapun yang gue dapet. Seperti angin dia hanya bisa dirasakan. Seperti awan dia hanya bisa dilihat. Dan seperti lautan, hatinya ga akan bisa gue selami. Dan dia hanya menyayangi gue seperti keluarganya.

Dan disinilah akhirnya. Setelah semua pengakuan gue. Terhamparlah jarak itu. Semakiiiiiiiiiiiiiin jauh setiap harinya. Ga pernah lagi ada sms curhat. Ga pernah lagi ada obrolan seru kalo kita ketemu. Ga ada lagi kue-kue atau masakan yang gue bikin buat dia cicipin. Hilang. Seolah kita gak pernah deket sebagai sahabat. Gw canggung. Dia canggung. Kita sama-sama berusaha untuk normal. Untuk mengembalikan semuanya. Tapi ga bisa. Ga akan pernah bisa. Dan gue yang mengacaukan segalanya. Di saat yang sama gue memutuskan untuk fokus sama pacar gue yang udah gue sia-siain selama ini. Dengan hati yang luar biasa besar, dia masih mau menerima gue dan ngasih kesempatan kedua. Tapi, hati memang ga bisa berbohong :)

Gue bikin kesepakatan sama si ‘sahabat’. Jangan bicara kalo ga kepaksa. Jangan sms kalo g ad yang penting. Hanya sebuah senyum yang boleh keluar saat kita ketemu. Gue nyoba ga peduli denger berita apapun tentang dia. Nyoba ngehindar kalo gue harus ketemu dia. Nyoba ga mikirin atau merhatiin dia. Tapi semuanya melawan. Hati, pikiran, mata dan telinga. Semua tetap mendengar. Semua tetap melihat. Semua tetap merasa. Dan semua tetap memikirkan.

Merasa lebih baik di saat gue ga ketemu dia selama berbulan-bulan dan hubungan gue sama pacar gue semakin hangat. Sampe akhirnya kita ketemu, dan ada sebuah rasa rindu. Rindu yang tertunda. Rindu yang tertahan. Rasanya gue rindu senyum itu. Tapi memang seperti itu. Rindu yang asa. Bukan rindu yang sebenarnya. Dan gue mulai menangis lagi. Di saat melihat kedekatan dia dan perempuan yang dia suka. Gue ga sanggup untuk terus berbohong sama diri gue sendiri bahwa perasaan gue ga berubah sama dia. Gue berusaha ga memikirkan hal itu, tapi dia ada di alam bawah sadar gue. Pada akhirnya. Ada tangis yang membeku. Ada hati yang terluka dan berdarah. Ada rasa yang tak tersampaikan. Kosong. Hampa. Akhirnya gue lupa betapa sakitnya rasa itu.

Sekarang gue jomlo a.k.a putus sama pacar gue (bukan gara-gara si ‘sahabat’). Gue juga masih jauh-jauhan sama si ‘sahabat’. Tapi, gue malah merasa happy. Dalam artian gue g ada beban perasaan sama pacar gue karna gue menghianati perasaan dia. Gue ga harus memikirkan si ‘sahabat’ karna toh gue sibuk ngobatin hati gue sendiri. Dia jalanin hidup dia sama cw yang dia suka. Gue jalanin hidup gue sama sahabat-sahabat lainnya. Dan saat ketemu gue masih bisa memandangi dia. Memandangi senyumnya. Menantikan gelak tawanya. Tanpa bicara. Dan gue siap meninggalkan dia di sana. Di kampus itu ***

Ga semua pernah ngerasain hal yang sama dengan gue. Tapi mencintai seorang sahabat adalah beban berat. Kita akan kehilangan persahabatan, bahkan tidak mendapatkan apa-apa. Tapi bisa juga perasaan yang terpendam itu, setelah muncul ke permukaan akan mendapat sambutan yang positif. Ga ada yang bisa di salahin kalo udah menyangkut soal perasaan. Perhatian dia, kebaikan dia kadang jadi disalah artikan oleh kita yang  jatuh hati sama dia. Seharusnya kita sadar betul bukan itu yang dia maksud. Mungkin dia hanya ingin membalas kebaikan kita. Atau memang sifat dasarnya dia yang murah hati. Yang sudah pernah merasakan sebaiknya lain kali berhati-hati. Ada yang bilang mengapa otak letaknya berada di atas hati kita. Karna masalah hati ini harus diiringi dengan logika, dengan pikiran yang jernih. Agar kita tetap berjalan di atas kesadaran dan diingatkan dengan batas-batas kewajaran. Tempatkan sahabat lo sebagai sahabat. Jangan bawa-bawa perasaan cinta segala atau semuanya malah bisa berabe. Kalau perasaan ini harus terungkap biarlah dia yang mengungkapkan. Atau ungkapkan dengan hati-hati dan perlahan. Agar tidak mengejutkan dia atau menghilangkan hubungan baik yang telah ada. Karna proses recovery tidak segampang waktu menghancurkannya. J

Sahabat..
Maaf kalau aku sudah menghancurkan persahabatan kita.
Maaf jika aku tidak bisa berhenti peduli padamu.
Maaf jika aku telah mengacaukan perasaanmu.
Sahabat..
Terima kasih atas kebahagiaan yang pernah kau berikan padaku.
Sahabat..
Izinkan aku simpan senyummu di sini. Di hatiku.
Sahabat..
Seandainya kau tau.
Aku masih rela mendengar keluh kesahmu.
Aku masih rela berjalan di sampingmu.
Aku rela melihat punggungmu menjauh dari hadapanku.
Aku rela kau memalingkan wajahmu.
Sahabat..
Demi persahabatan kita.
Bahagialah dengannya yang telah kau pilih.
Aku disini, akan menyertaimu dengan doa dan senyum.
Sahabat..
Meski telah hilang dan tak akan kembali.
Aku tidak akan pernah lupa.
Kamu.
Aku.
Kita.
Pernah di sini :)


let me take care of u my best friend :)

Sahabatku (bukan) Kekasihku
Item Reviewed: Sahabatku (bukan) Kekasihku 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!